JAKARTA – Presiden RI Ir. Joko Widodo mulai mewacanakan satu UU lintas sektor, Omnibus Law atau yang sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat, di hadapan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI tanggal 20 Oktober 2019.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang menuai polemik ini merupakan inisiatif pemerintah. Tanggal 12 Februari 2020, Presiden RI secara resmi mengirim draf dan Surat Presiden (SurPres) perihal Omnibus Law RUU Cipta Kerja kepada DPR melalui Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Tenaga Kerja, Menteri ATR/BPN, Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja mendapat penolakan dari kelompok-kelompok masyarakat, antara lain buruh, petani, masyarakat adat, akademisi, aktivis NGO, pemuka agama dan sebagainya. Mereka berpendapat, Omnibus Law RUU Cipta Kerja memberikan dampak buruk kepada masyarakat, khususnya mereka yang memiliki latar belakang ekonomi sosial seperti buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, dan masyarakat adat, serta mengancam keberlanjutan lingkungan hidup.
TONTON JUGA :
Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini lebih mementingkan kepentingan korporasi daripada kepentingan rakyat dan keselamatan lingkungan hidup, yaitu atas nama investasi.
Pemerintah dan DPR sepertinya tidak menghiraukan tuntutan dari kelompok-kelompok masyarakat agar menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut. Karena sejatinya dalam sistem politik demokratis yang dianut oleh negara Indonesia, pembahasan undang-undang atau kebijakan politik harus melibatkan partisipasi publik seadil dan setara mungkin. Dunia dan masyarakat Indonesia saat ini sedang menghadapi pandemi Covid-19. Oleh karena itu, partisipasi publik tidak akan mungkin bisa berjalan maksimal. Padahal, pemerintah sendiri yang mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial sebagai langkah dan upaya memutus mata rantai penularan Covid-19. Sangat disayangkan, pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini tetap dijadwalkan pada tanggal 16 Juli 2020 tanpa mempertimbangkan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat.
Pemerintah kelihatannya memanfaatkan momentum pandemi untuk melakukan tindakan politis tanpa partisipasi publik.
Buktinya, pada tanggal 12 Mei 2020, DPR bersama pemerintah telah menyetujui Revisi Undang Undang (RUU) Minerba menjadi Undang-Undang. Padahal, RUU Minerba itu merugikan masyarakat dan mengancam kelestarian lingkungan dan ekosistem di sekitarnya. RUU Minerba tersebut awalnya merupakan inisiatif DPR periode 2014-2019 yang kemudian dilanjutkan oleh DPR periode 2019-2024.
Yang sangat disayangkan juga, yaitu pada tanggal 2 Juli 2020, DPR menghapus Rancangan Undang- Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 dengan alasan “masih menuai polemik”.
BACA JUGA : https://tigasisi.id/kasus-pencetakan-sawah-kejari-dairi-tinggal-menunggu-kelengkapan-berkas-tigasisi/
Jika DPR memiliki kehendak politik yang mengayomi warga negara, seharusnya RUU PKS disahkan sebagai payung hukum bagi mereka (korban) yang mengalami tindak kekerasan seksual dan sebagai upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual. Membahas dan mensahkan RUU yang menguntungkan korporasi mudah, tapi membahas dan mensahkan RUU untuk kepentingan luas warga negara selalu ada alasan menunda, bahkan mengeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas.
MASALAH OMNIBUS LAW
Masalah Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini masih menuai polemik, baik di saat proses pembahasan maupun substansinya. Berikut ini adalah masalah-masalah yang menurut kami perlu untuk ditindaklanjuti, diantaranya:
Pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak demokratis karena tidak melibatkan partisipasi publik. UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undang mewajibkan pemerintah untuk melibatkan partisipasi publik yang luas dan mudah kepada masyarakat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU). Publik berhak memberi masukannya terhadap RUU yang sedang dibahas.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup, dengan alasan:
Pertama, “izin lingkungan” diganti dengan “izin usaha”. Padahal, berdasarkan UU No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), izin lingkungan merupakan syarat untuk memperoleh izin usaha. Analisis dampak dan lingkungan (AMDAL) statusnya bukan prasyarat tetapi faktor yang harus dipertimbangkan. Dan menurut UU PPLH, setiap usaha yang berpotensi berdampak terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Perlu diingatkan kembali, bahwa pada hakikatnya izin lingkungan dan AMDAL harus tetap ada karena hal ini berkaitan dengan hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kedua, perusahaan pemegang izin konsesi di areal hutan tidak memiliki keharusan bertangggungjawab jika terjadi kebakaran hutan di areal kerjanya. Perusahaan hanya diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya (Pasal 37 angka 16 Omnibus Law RUU Cipta Kerja).
Ketiga, pengusaha lewat izin dari pemerintah pusat dapat memanfaatkan pantai atau lautan untuk kepentingan bisnisnya walaupun tanpa pertimbangan lingkungan. Cukup dengan dengan membuat pertimbangan bisnis dan keuntungan pengusaha (Pasal 19 angka 3 Omnibus Law RUU Cipta Kerja). Hal ini akan berakibat pada kehancuran ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Bahkan, pasal ini bisa dengan mudah menggusur masyarakat yang tinggal di wilayah itu.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan memperparah ketimpangan terkait penguasaan lahan dan memperuncing konflik-konflik agraria yang belum dituntaskan. Hal ini karena kemudahan dan prioritas pemberian hak atas lahan untuk kepentingan investasi. Selain itu, Omnibus Law RUU Cipta Kerja berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan, industri kehutanan dan pertambangan sehingga akan berpotensi meningkatkan monopoli atas penguasaan lahan.
Petani, masyarakat adat, dan nelayan akan tergusur dari ekosistem mereka, karena pemerintah memberikan ruang istimewa dan prioritas kepada pemilik bisnis dan investasi untuk memiliki lahan.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Pasal 127 ayat 2 dan 3) memperpanjang jangka waktu hak pengelolaan tanah atau disebut dengan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi 90 tahun, bahkan lebih panjang dari masa HGU yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, yakni 75 tahun.
Menurut kami, perpanjangan jangka waktu ini adalah bentuk penghapusan kedaulatan negara atas tanah. Hal ini tentu melukai rasa keadilan. Jelas ini Menyakitkan dan Menyinggung Hakikat Kemanusiaan.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja menghilangkan kewenangan pemerintah daerah karena seluruh perizinan dan pengelolaan tambang (Minerba) akan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Padahal peran pemerintah daerah sangat penting dalam pengawasan dan pengelolaan sumber daya alam. Ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah, yakni penguatan dan kemandirian daerah. Jelas ini menghianati agenda reformasi. Ini mengubah konsep desentralisasi dan demokrasi di era otonomi daerah menuju negara yang sentralistik.
Yang jadi pertanyaan adalah apakah pemerintah pusat sudah siap melaksanakan seluruh kewenangan perizinan, pembinaan dan pengawasan sekaligus baik dari sisi SDM, kelembagaan dan lainnya?
Petani, buruh, kaum miskin kota, masyarakat adat, dan nelayan akan mudah diproses hukum (kriminalisasi) jika tidak menyetujui (menolak) dan melawan proyek pengusaha dan investor yang mendapat izin dari pemerintah.
Karena itu, kami 104 rohaniawan/rohaniawati dari berbagai gereja terpanggil untuk bersuara menolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini yang dijadwalkan pada tanggal 16 Juli 2020.
Menurut kami, jika Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini disahkan maka akan mengancam keselamatan lingkungan, mengancam ruang hidup warga/umat, dan mengabaikan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Suara para para rohaniawan/rohaniawati gereja merupakan bagian dari tanggung jawab kami untuk mewujudkan Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Pernyataan sikap kami ini juga merupakan bentuk dari kepedulian kami rohaniawan/rohaniawati dan sebagai warga negara kepada sesama manusia dan lingkungan hidup (ciptaan Tuhan).
Sehubungan dengan itu, kami para rohaniawan/rohaniawati dari berbagai gereja di Indonesia dengan ini menyatakan sikap: RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengancam keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup, mengancam ruang hidup warga/umat, dan mengabaikan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; Mendesak Pemerintah dan DPR RI agar membatalkan agenda pengesahan Omnibus Law RUU Cipta kerja yang direncanakan pada tanggal 16 Juli 2020; Mendesak Presiden RI Ir. Joko Widodo agar menarik Omnibus Law RUU Cipta Kerja.(SR.BH)